Kamis, 22 November 2012

Bangunan Sejarah di Bukittinggi Mulai “Hilang”, Kawasan Heritage Belum Ada





Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota dengan usia sangat tua, yakni 227 tahun. Ketuaan kota ini, menggambarkan kota seluas 25,24 km2 ini sudah diwarnai peradaban modern sejak lebih dua abad yang lalu.

Dari beberapa catatan Penguasa Belanda, tahun 1888 sudah menetapkan batas wilayah Bukittinggi dan pada tahun 1890 dibangunlah Losd atau pasar yang sebelumnya pasar di kota ini baru berupa kedai-kedai terbuka dengan atap ilalang atau ijuk.Los pertama dibangun (1890) adalah Los Galuang ( lokasi pasar bertingkat pasar atas sekarang, depan Gloria dan Pasa Putiah dekat Janjang 40 ).

Seiring dengan perkembangan arus perdagangan dan jual beli, Bukittinggi tumbuh menjadi kota perdagangan di Sumatera Tengah. Karena posisinya strategis dan berada di titik transito yang ideal untuk kota strategis mliter, maka tahun 1826 Kapten Bauer, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, mendirikan benteng Fort de Kock, di Bukit Jirek, sekitar 300 m di sebelah utara pasar Bukittinggi yang berada di bukik Kubangan Kabau.

Kawasan bukit itu diberikan oleh para penghulu Nagari Kurai kepada Kapten Bauer dengan perjanjian akan saling membantu dalam mengahadap Kaum Paderi. Sejak berdirinya Fort de Kock dan Belanda berhasil mengalahkan Kaum Paderi serta menguasai Minangkabau, maka perkembangan Bukittinggi lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda.

Tahun 1900, yakni pada masa pemerintahan Controleur Oud Agam, L.C. Westenenk pembangunan pasar terus ditingkatkan dengan membangun los sekitar pasar lereng, los pasar bawah dan Rumah Potong Hewan yang sampai saat ini masih difungsikan oleh Pemko Bukittinggi. Untuk menghubungkan pasar lereng dengan pasar bawah, dibangun Jenjang penghubung yang sekarang dikenal dengan Janjang Gantuang.

Pemerintah Hindia Belanda tidak hanya membuat pasar, tapi juga membangun sarana pendidikan, 1 April 1856 Kweekschool atau Sekolah Guru mulai melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya. Gedung Kweekschool tersebut adalah gedung SMA N 2 Birugo yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik. Tahun 1933, didirikan MULO. Selain sekolah Raja itu, sejak awal abad ke- 20 seiring dengan dicanagkannya politik etis oleh pemerintah, maka dekat Rumah Sakit ( lokasi paviliun Cinduamato RSAM sekarang), HIS di dekat kantor Controleur ( lokasi The Hill Hotel saat ini).

HIS di Panorama Atas Ngarai ( Lokasi SMP 2 dan SMP 4 lama ata SMP 4 ateh ngarai saat ini), Europa School (di SMP Negeri 1 sekarang), Hollansche Chinese School (di belakang SMP Negeri 1 sekarang) atau SMP Franciscus sekarang, Tidak hanya itu, Belanda juga membangun komplek tentara tahun 1861 (Komplek Makodim 0304/Agam) Kantin, sampai dengan pembangunan Jam Gadang yang monumental itu pada tahun 1926.

Istana Bung HATTA

Kesemuanya itu menggambarkan betapa pentingnya posisi dan arti Kota Bukittinggi di jantung pulau Sumatera. Namun, sampai saat peninggalan penting masa kolonial tersebut belum terlindungi dan terjaga dengan baik karena belum ada produk hukum milik Pemko Bukittinggi apakah berupa Perda, atau sejenisnya, sehingga saat ini beberapa bangunan bersejarah tersebut telah tegusur oleh perkembangan kota Bukittinggi.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melalui Kasi Peninggalan Sejarah Jondi.M mengatakan Pemko Bukittinggi melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sedang mempersiapkan Peraturan Walikota untuk Kawasan Cagar Budaya. “ Kita harapkan Perwako KCB tersebut akan dapat menjadi Perda Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Sejarah ( Kawasan Heritage ).

Dalam rancangan Perwako, memuat bangunan mana saja yang dilindungi, baik berupa bangunan yang sudah beralih status kepemilikannya (milik perseorangan) maupun yang berada dibawah penguasaan Pemko Bukittinggi. Juga akan diatur tidak boleh merubah bentuk bangunan, kalau bangunan itu di renovasi karena pengaruh usia maka renovasinya harus kembali seperti bentuk semula, renovasi hanya dibolehkan untuk penguatatan konstruksi.

“ Kita tidak menghambat pembangunan tetapi pembangunan tidak menghilangkan nilai sejarah dari kota yang usianya sudah 227 tahun,” katanya. Ia mencontohkan Jakarta dengan Perda Kawasan Heritage tidak menerbitkan IMB pada lokasi-lokasi yang termasuk dalam ruang lingkup Perda. Di antara bangunan pencakar langit terdapat bangunan tua yang terus dipertahankan keberadaanya. Begitu juga di Jogjakarta. Kawasan keraton dan bangunan bersejarah peninggalan masa kolonial tidak boleh diubah bentuknya walau beberapa diantaranya sudah dilakukan penguatan dan renovasi kontruksinya.

Ditambahkan Jondi.M ada dua kegiatan untuk pelestestarian Kawasan cagar Budaya pertama saat ini sedang dipersiapkan Perwako dan kedua kita sedang menyusun buku cagar budaya sebagai pedoman dan informasi kepada masyarakat objek mana saja yang termasuk dalam kawasan Cagar Budaya di Kota Bukittinggi.

Di Bukittinggi memang banyak bangunan bersejarah. Misalnya kantor Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi merupakan kantor tempat pencetakan uang (Oeang Repoeblikk Indonesia/ORI) untuk wilayah Sumatera pada masa-masa awal kemerdekaan. Juga bangunan tua kawasan kampuang Chino, Mapolres Bukittinggi, penjara depan BNI, perumahan prajurit kawasan panorama (Belakang wisma angrek) pusaro Bulando di Bukik Apik, atau jiuga sekolah Polwan di Birugo.

Adek Rossyie Mukry, seorang warhga kota mengatakan, di Malaka, Malaysia, bangunan yang termasuk dalam kategori dilindungi ditandai dengan cat berwarna merah. B anyak bangunan bersejarah itu sudah direnovasi namun tidak menghbah bentuk. Yang direnovasi adalah penggantian konstruksi yang lapuk namun bentuknya tidak boleh berobah.

“Dengan adanya wacana dari Pemko Bukittinggi untuk menerbitkan perangkat hukum untuk Kawasan Cagar Budaya akan sangat berarti bagi sejarah perkembangan dan keberadaan kota Bukittinggi, sehingga tidak ada lagi perbedaan penafsiran dalam masyarakat tentang perlindungan kawasan yang termasuk cagar budaya.,” katanya.

Dua guide ( pemandu wisata ) di Panorama Bukittinggi, yakni Jon dan Al Guide mendukung adanya rencana pemerintah untuk menerbitkan perangkat hukum untuk kawasan cagar budaya dan rencana penerbitan buku cagar budaya kota Bukittinggi. Karena itu sangata bagus.

“Selama ini kami para guide sering tidak dapat menjelaskan kepada tamu atau wisatawan tentang beberapa objek sejarah kota Bukittinggi yang yang mereka temukan di internet umpamanya bangunan di kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden,” kata mareka.

Komplek inilah yang sekarang dijadikan Istana Negara "Bung Hatta", sementara bangunan kantor Residennya saat ini telah menjadi The Hills Hotel. Yang tersisa saat ini hanya rumah dinas Asisten Residen (Istana Bung Hatta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar